Pada akhir dari pembahasan ini, saya harap anda dapat memahami 3 hal sebagai berikut: (1) Bahwa copyright adalah sebuah istilah hukum, sedangkan copyleft dan creative commons bukan, (2) Walaupun bukan istilah hukum, tetapi copyleft dan creative commons sesungguhnya adalah pelaksanaan dari hukum copyright, (3) Karena mereka adalah pelaksanaan dari hukum copyright, maka copyleft dan creative commons bukanlah istilah yang merujuk pada tindakan melawan hukum, seperti: pembajakan. Dan kunci untuk membedakan ketiganya dengan mudah adalah dengan memahami SIMBOL dari masing-masing istilah tersebut. Tertarik? Mari ikuti pembahasan saya.
Simbol Adalah Hukum
Semua mahasiswa fakultas hukum tingkat pertama sudah diajari bahwa hukum tidak dapat diartikan secara tunggal. Bentuknya pun bermacam-macam, bisa berupa peraturan, putusan pengadilan, perjanjian, dan bisa pula berwujud dalam bentuk: simbol. Namun esensinya, hukum adalah pedoman yang dapat berupa larangan, kewajiban, maupun hak yang ditujukan kepada anggota masyarakat. Oleh karena itu, seorang filsuf bernama Cicero pernah mengatakan “Ubi Societas, Ibi Ius” yang berarti “Di mana ada masyarakat, Di sana ada hukum”.
Simbol adalah hukum ketika simbol tersebut menunjukkan suatu larangan, kewajiban, atau hak yang diberlakukan kepada anggota masyarakat. Simbol memiliki daya pengikat secara hukum kepada anggota masyarakat jika: (1) dinyatakan dalam suatu peraturan, (2) dinyatakan dalam suatu perjanjian, atau jika (3) digunakan secara luas oleh masyarakat.
Rambu lalu lintas di atas ini adalah contoh dari simbol yang dinyatakan dalam suatu peraturan. Makna dari setiap simbol tersebut harus mengacu pada ketentuan yang ditetapkan dalam peraturannya.
Tanda tangan, sebagaimana diilustrasikan dalam gambar di atas ini, adalah contoh dari simbol yang dinyatakan dalam suatu perjanjian. Makna dari simbol tersebut adalah persetujuan atau pernyataan kesepakatan terhadap segenap isi perjanjian.
Gambar tengkorak di atas ini adalah contoh simbol yang digunakan secara luas oleh masyarakat. Gambar itu sendiri umumnya diartikan sebagai adanya suatu kondisi berbahaya atau mematikan di sekitar area tempat adanya simbol tersebut.
Copyright (+) Author’s Right (=) Hak Cipta
Istilah copyright memiliki simbol “huruf C dalam lingkaran”. Simbol ini masuk dalam simbol tipe ketiga, yaitu simbol yang telah digunakan secara luas oleh masyarakat. Untuk mengetahui apa makna hukum yang terkandung dari simbol copyright tersebut, mari kita tinjau sedikit mengenai hukum copyright.
Copyright adalah suatu jenis hak yuridis yang fokusnya adalah memberikan perlindungan hukum terhadap tindakan perbanyakan secara eksklusif terhadap suatu karya. Istilah ini konon berawal di Inggris dan lahir seiring dengan tumbuhnya industri percetakan. Dengan demikian, hukum ini memang sengaja dibuat untuk mengakomodir kepentingan bisnis para borjuis percetakan sahaja. Para pengarang justru tidak memperoleh perlindungan hukum yang layak.
Beberapa negara di luar Inggris yang dikenal kuat tradisi filsafatnya, seperti Jerman, Perancis, dan Belanda, tidak menyukai model pengaturan semacam itu. Mereka berpendapat bahwa suatu perbanyakan tidak mungkin dilakukan jika naskahnya tidak ada. Oleh karena itu, mereka memandang bahwa pengarang kedudukannya lebih penting daripada pencetak atau penerbit. Akibatnya mereka membuat hukum yang memberikan hak-hak khusus kepada pengarang dan mereka tidak mau menyebut peraturan yang memuat hak itu dengan nama copyright. Peraturan itu kemudian disebut Auteurswet di Belanda dan Jerman, serta Droit de Auteur di Perancis; yang jika di-bahasa-inggris-kan, maka istilah tersebut berbunyi: Author’s Right.
Pada masa Hindia Belanda, Auteurswet juga diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1912. Setelah merdeka, pemerintah Indonesia mengadakan Kongres Kebudayaan 1952 untuk, salah satu tujuannya, merumuskan bahasa Indonesia yang sesuai untuk istilah tersebut. Pada akhirnya dicapailah kesepakatan bahwa istilah Auteurswet diganti dengan istilah Hak Cipta. Keengganan para peserta Kongres menggunakan istilah Hak Memperbanyak (Copyright) menunjukkan penolakan mereka terhadap aturan hukum yang semata-mata menekankan pada aspek kapitalisme, sedangkan tidak dipakainya lagi istilah Hak Pengarang (Author’s Right) menunjukkan bahwa mereka tidak ingin adanya suatu hukum yang sama sekali menafikan perlindungan terhadap investasi dan bisnis. Oleh karena itu, mereka ingin ada satu istilah yang dapat menggabungkan kedua konsep tersebut; suatu istilah hukum yang seimbang untuk mengakomodir kedua kepentingan. Oleh karena itu, lahirlah istilah Hak Cipta, sebagai istilah hybrid hasil perkawinan kedua konsep tersebut. Namun demikian, walaupun peserta Kongres berhasil merumuskan istilah Hak Cipta, tetapi mereka tidak membuat padanan katanya dalam bahasa inggris. Akibatnya kini istilah Hak Cipta diterjemahkan sebagai: Copyright. Capeee deh!
Dalam pengaturan di Undang-Undang Hak Cipta (UUHC), istilah Hak Cipta tersebut kemudian digunakan untuk mendefinisikan hak yang disebut sebagai Hak Ekonomis. Sedangkan, istilah yang digunakan untuk mengatur mengenai author’s right adalah Hak Moral. Dalam konteks Hak Cipta, kita harus dapat membedakan siapa yang disebut Pencipta dan siapa yang disebut Pemegang Hak Cipta. Pencipta adalah orang yang menciptakan suatu karya, sedangkan Pemegang Hak Cipta adalah pihak yang secara hukum memiliki Hak Cipta atas suatu Ciptaan. UUHC menyatakan bahwa Hak Moral adalah milik dari Pencipta, sehingga disebut pula Hak Pencipta; sedangkan Hak Cipta adalah milik dari Pemegang Hak Cipta. Oleh karena itu, seorang Pencipta pasti memiliki Hak Pencipta/Hak Moral tetapi belum tentu memiliki Hak Cipta/Hak Ekonomis, sedangkan Pemegang Hak Cipta pasti memiliki Hak Cipta/Hak Ekonomis tetapi belum tentu memiliki Hak Pencipta/Hak Moral. Pencipta dapat kehilangan Hak Cipta/Hak Ekonomis atas karyanya jika Ia mengalihkan kepemilikannya kepada pihak lain.
Sama dengan hak lainnya dalam lingkup hak kekayaan intelektual, hak cipta pada esensinya adalah hak eksklusif atau hak untuk memonopoli. Artinya, terhadap suatu karya HANYA pemegang hak cipta-lah yang legal untuk melakukan kegiatan perbanyakan, pengumuman, dan perbanyakan-pengumuman. Pihak lain yang ingin melakukan pula kegiatan tersebut secara legal harus meminta IZIN dari pemegang hak cipta. Karena itu, konstruksi hukum hak cipta sesungguhnya sangat sederhana. Siapapun yang melakukan kegiatan perbanyakan, pengumuman, atau perbanyakan-pengumuman terhadap suatu karya tanpa izin dari pemegang hak cipta dipandang telah melakukan perbuatan yang melawan hukum, baik secara perdata maupun pidana.
Izin dari pemegang hak cipta kepada suatu pihak ini disebut: LISENSI. Karena itu, yang memberikan izin sering disebut Licensor, sedangkan yang mendapat izin disebut Licensee. Licensor berhak menentukan lisensi apa yang akan diberikan kepada Licensee. Karena itu, bisa saja suatu Licensee diberikan izin untuk memperbanyak, tetapi tidak diberikan izin untuk mengedarkan, menjual, atau menterjemahkan. Licensee dapat dianggap melakukan pelanggaran hukum, setidaknya melanggar hukum perjanjian, jika melakukan hal-hal yang dilarang atau melampaui apa yang telah ditentukan dalam lisensi. Misalnya, seseorang yang membeli program komputer yang bersifat closed source selalu memperoleh lisensi berupa lisensi pengguna akhir (end-user license). Jenis lisensi ini biasanya hanya memberikan hak kepada orang tersebut untuk memperbanyak program tersebut di satu komputer dan untuk menggunakannya di komputer tersebut. Jika orang itu memperbanyak program komputer tersebut dan menjualnya, maka Ia dikatakan telah melampaui lisensi yang diberikan padanya dan karena itu Ia dikatakan melanggar hukum. Dengan demikian, jelaslah bahwa lisensi memiliki dampak yang besar terhadap legalitas pemanfaatan suatu karya cipta.
Nah kembali ke persoalan simbol, makna hukum dari huruf C yang dilingkari itu adalah pernyataan dari pemegang hak cipta kepada siapa saja bahwa Ia lah yang menjadi pemilik hak cipta atas karya tersebut. Simbol tersebut sama sekali tidak merepresentasikan tindakan pemberian lisensi. Karena itu, siapa saja yang ingin memperbanyak, mengumumkan, atau memperbanyak-mengumumkan karya tersebut harus terlebih dahulu minta izin padanya. Melakukan tindakan-tindakan itu tanpa izin adalah suatu pelanggaran hukum, walaupun belum tentu si pelaku mendapat keuntungan ekonomis dari perbuatannya. Dalam konteks itulah maka simbol tersebut memiliki makna yang sama dengan frase ALL RIGHTS RESERVED. Simbol tersebut semakin punya makna yang represif, karena orang yang memanfaatkan karya tersebut tanpa izin dapat dilaporkan ke Polisi dan dijatuhi sanksi pidana berupa pemenjaraan.
Semangat kapitalis yang terlalu berlebihan menjadi kandungan yang sangat esensial dari simbol C dilingkari tersebut. Padahal, penciptaan suatu karya tidak melulu didasarkan pada motivasi komersial. Seniman-seniman rakyat di Bali, Jepara, Kudus, dan tempat-tempat lainnya justru malah bangga kalau desain ukirannya ditiru oleh sodara-sedulurnya di kampung. Para politisi justru berharap kalau rekaman pidatonya diperbanyak dan disebarluaskan secara gratis kepada masyarakat. Seorang fotografer mungkin saja secara tulus menyebarkan dan membebaskan siapa saja yang ingin memperbanyak foto tentang alam Indonesia agar seluruh penduduk dunia tahu mengenai keindahan tersebut. Bahkan saya yakin, dalam salah satu fase kehidupan anda, anda pasti pernah mencipta suatu karya tanpa berpikir akan mengkomersialkan karya tersebut. Anda mencipta semata-mata karena anda kreatif dalam menjalani hidup. Intinya, kalau anda tidak mengkomersialkan karya ciptaan anda, maka: JANGAN GUNAKAN SIMBOL © INI!
Simbol Adalah Hukum
Semua mahasiswa fakultas hukum tingkat pertama sudah diajari bahwa hukum tidak dapat diartikan secara tunggal. Bentuknya pun bermacam-macam, bisa berupa peraturan, putusan pengadilan, perjanjian, dan bisa pula berwujud dalam bentuk: simbol. Namun esensinya, hukum adalah pedoman yang dapat berupa larangan, kewajiban, maupun hak yang ditujukan kepada anggota masyarakat. Oleh karena itu, seorang filsuf bernama Cicero pernah mengatakan “Ubi Societas, Ibi Ius” yang berarti “Di mana ada masyarakat, Di sana ada hukum”.
Simbol adalah hukum ketika simbol tersebut menunjukkan suatu larangan, kewajiban, atau hak yang diberlakukan kepada anggota masyarakat. Simbol memiliki daya pengikat secara hukum kepada anggota masyarakat jika: (1) dinyatakan dalam suatu peraturan, (2) dinyatakan dalam suatu perjanjian, atau jika (3) digunakan secara luas oleh masyarakat.
Rambu lalu lintas di atas ini adalah contoh dari simbol yang dinyatakan dalam suatu peraturan. Makna dari setiap simbol tersebut harus mengacu pada ketentuan yang ditetapkan dalam peraturannya.
Tanda tangan, sebagaimana diilustrasikan dalam gambar di atas ini, adalah contoh dari simbol yang dinyatakan dalam suatu perjanjian. Makna dari simbol tersebut adalah persetujuan atau pernyataan kesepakatan terhadap segenap isi perjanjian.
Gambar tengkorak di atas ini adalah contoh simbol yang digunakan secara luas oleh masyarakat. Gambar itu sendiri umumnya diartikan sebagai adanya suatu kondisi berbahaya atau mematikan di sekitar area tempat adanya simbol tersebut.
Copyright (+) Author’s Right (=) Hak Cipta
Istilah copyright memiliki simbol “huruf C dalam lingkaran”. Simbol ini masuk dalam simbol tipe ketiga, yaitu simbol yang telah digunakan secara luas oleh masyarakat. Untuk mengetahui apa makna hukum yang terkandung dari simbol copyright tersebut, mari kita tinjau sedikit mengenai hukum copyright.
Copyright adalah suatu jenis hak yuridis yang fokusnya adalah memberikan perlindungan hukum terhadap tindakan perbanyakan secara eksklusif terhadap suatu karya. Istilah ini konon berawal di Inggris dan lahir seiring dengan tumbuhnya industri percetakan. Dengan demikian, hukum ini memang sengaja dibuat untuk mengakomodir kepentingan bisnis para borjuis percetakan sahaja. Para pengarang justru tidak memperoleh perlindungan hukum yang layak.
Beberapa negara di luar Inggris yang dikenal kuat tradisi filsafatnya, seperti Jerman, Perancis, dan Belanda, tidak menyukai model pengaturan semacam itu. Mereka berpendapat bahwa suatu perbanyakan tidak mungkin dilakukan jika naskahnya tidak ada. Oleh karena itu, mereka memandang bahwa pengarang kedudukannya lebih penting daripada pencetak atau penerbit. Akibatnya mereka membuat hukum yang memberikan hak-hak khusus kepada pengarang dan mereka tidak mau menyebut peraturan yang memuat hak itu dengan nama copyright. Peraturan itu kemudian disebut Auteurswet di Belanda dan Jerman, serta Droit de Auteur di Perancis; yang jika di-bahasa-inggris-kan, maka istilah tersebut berbunyi: Author’s Right.
Pada masa Hindia Belanda, Auteurswet juga diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1912. Setelah merdeka, pemerintah Indonesia mengadakan Kongres Kebudayaan 1952 untuk, salah satu tujuannya, merumuskan bahasa Indonesia yang sesuai untuk istilah tersebut. Pada akhirnya dicapailah kesepakatan bahwa istilah Auteurswet diganti dengan istilah Hak Cipta. Keengganan para peserta Kongres menggunakan istilah Hak Memperbanyak (Copyright) menunjukkan penolakan mereka terhadap aturan hukum yang semata-mata menekankan pada aspek kapitalisme, sedangkan tidak dipakainya lagi istilah Hak Pengarang (Author’s Right) menunjukkan bahwa mereka tidak ingin adanya suatu hukum yang sama sekali menafikan perlindungan terhadap investasi dan bisnis. Oleh karena itu, mereka ingin ada satu istilah yang dapat menggabungkan kedua konsep tersebut; suatu istilah hukum yang seimbang untuk mengakomodir kedua kepentingan. Oleh karena itu, lahirlah istilah Hak Cipta, sebagai istilah hybrid hasil perkawinan kedua konsep tersebut. Namun demikian, walaupun peserta Kongres berhasil merumuskan istilah Hak Cipta, tetapi mereka tidak membuat padanan katanya dalam bahasa inggris. Akibatnya kini istilah Hak Cipta diterjemahkan sebagai: Copyright. Capeee deh!
Dalam pengaturan di Undang-Undang Hak Cipta (UUHC), istilah Hak Cipta tersebut kemudian digunakan untuk mendefinisikan hak yang disebut sebagai Hak Ekonomis. Sedangkan, istilah yang digunakan untuk mengatur mengenai author’s right adalah Hak Moral. Dalam konteks Hak Cipta, kita harus dapat membedakan siapa yang disebut Pencipta dan siapa yang disebut Pemegang Hak Cipta. Pencipta adalah orang yang menciptakan suatu karya, sedangkan Pemegang Hak Cipta adalah pihak yang secara hukum memiliki Hak Cipta atas suatu Ciptaan. UUHC menyatakan bahwa Hak Moral adalah milik dari Pencipta, sehingga disebut pula Hak Pencipta; sedangkan Hak Cipta adalah milik dari Pemegang Hak Cipta. Oleh karena itu, seorang Pencipta pasti memiliki Hak Pencipta/Hak Moral tetapi belum tentu memiliki Hak Cipta/Hak Ekonomis, sedangkan Pemegang Hak Cipta pasti memiliki Hak Cipta/Hak Ekonomis tetapi belum tentu memiliki Hak Pencipta/Hak Moral. Pencipta dapat kehilangan Hak Cipta/Hak Ekonomis atas karyanya jika Ia mengalihkan kepemilikannya kepada pihak lain.
Sama dengan hak lainnya dalam lingkup hak kekayaan intelektual, hak cipta pada esensinya adalah hak eksklusif atau hak untuk memonopoli. Artinya, terhadap suatu karya HANYA pemegang hak cipta-lah yang legal untuk melakukan kegiatan perbanyakan, pengumuman, dan perbanyakan-pengumuman. Pihak lain yang ingin melakukan pula kegiatan tersebut secara legal harus meminta IZIN dari pemegang hak cipta. Karena itu, konstruksi hukum hak cipta sesungguhnya sangat sederhana. Siapapun yang melakukan kegiatan perbanyakan, pengumuman, atau perbanyakan-pengumuman terhadap suatu karya tanpa izin dari pemegang hak cipta dipandang telah melakukan perbuatan yang melawan hukum, baik secara perdata maupun pidana.
Izin dari pemegang hak cipta kepada suatu pihak ini disebut: LISENSI. Karena itu, yang memberikan izin sering disebut Licensor, sedangkan yang mendapat izin disebut Licensee. Licensor berhak menentukan lisensi apa yang akan diberikan kepada Licensee. Karena itu, bisa saja suatu Licensee diberikan izin untuk memperbanyak, tetapi tidak diberikan izin untuk mengedarkan, menjual, atau menterjemahkan. Licensee dapat dianggap melakukan pelanggaran hukum, setidaknya melanggar hukum perjanjian, jika melakukan hal-hal yang dilarang atau melampaui apa yang telah ditentukan dalam lisensi. Misalnya, seseorang yang membeli program komputer yang bersifat closed source selalu memperoleh lisensi berupa lisensi pengguna akhir (end-user license). Jenis lisensi ini biasanya hanya memberikan hak kepada orang tersebut untuk memperbanyak program tersebut di satu komputer dan untuk menggunakannya di komputer tersebut. Jika orang itu memperbanyak program komputer tersebut dan menjualnya, maka Ia dikatakan telah melampaui lisensi yang diberikan padanya dan karena itu Ia dikatakan melanggar hukum. Dengan demikian, jelaslah bahwa lisensi memiliki dampak yang besar terhadap legalitas pemanfaatan suatu karya cipta.
Nah kembali ke persoalan simbol, makna hukum dari huruf C yang dilingkari itu adalah pernyataan dari pemegang hak cipta kepada siapa saja bahwa Ia lah yang menjadi pemilik hak cipta atas karya tersebut. Simbol tersebut sama sekali tidak merepresentasikan tindakan pemberian lisensi. Karena itu, siapa saja yang ingin memperbanyak, mengumumkan, atau memperbanyak-mengumumkan karya tersebut harus terlebih dahulu minta izin padanya. Melakukan tindakan-tindakan itu tanpa izin adalah suatu pelanggaran hukum, walaupun belum tentu si pelaku mendapat keuntungan ekonomis dari perbuatannya. Dalam konteks itulah maka simbol tersebut memiliki makna yang sama dengan frase ALL RIGHTS RESERVED. Simbol tersebut semakin punya makna yang represif, karena orang yang memanfaatkan karya tersebut tanpa izin dapat dilaporkan ke Polisi dan dijatuhi sanksi pidana berupa pemenjaraan.
Semangat kapitalis yang terlalu berlebihan menjadi kandungan yang sangat esensial dari simbol C dilingkari tersebut. Padahal, penciptaan suatu karya tidak melulu didasarkan pada motivasi komersial. Seniman-seniman rakyat di Bali, Jepara, Kudus, dan tempat-tempat lainnya justru malah bangga kalau desain ukirannya ditiru oleh sodara-sedulurnya di kampung. Para politisi justru berharap kalau rekaman pidatonya diperbanyak dan disebarluaskan secara gratis kepada masyarakat. Seorang fotografer mungkin saja secara tulus menyebarkan dan membebaskan siapa saja yang ingin memperbanyak foto tentang alam Indonesia agar seluruh penduduk dunia tahu mengenai keindahan tersebut. Bahkan saya yakin, dalam salah satu fase kehidupan anda, anda pasti pernah mencipta suatu karya tanpa berpikir akan mengkomersialkan karya tersebut. Anda mencipta semata-mata karena anda kreatif dalam menjalani hidup. Intinya, kalau anda tidak mengkomersialkan karya ciptaan anda, maka: JANGAN GUNAKAN SIMBOL © INI!